THE RAID: REDEMPTION (2011) (untuk seterusnya disebut sebagai THE RAID) ditayangkan perdana sebagai film penutup INAFF (Indonesia International Fantastic Film Festival) di tahun yang sama dan film ini diklaim sebagai The Best Action Movie in Decades oleh Twitchfilm. Pernyataan tersebut bahkan tercetak di beberapa versi posternya yang beredar. THE RAID masuk ke berbagai official selection film festival di luar negeri, Toronto, Busan, Sundance, dan juga memenangkan berbagai kategori best movie di beberapa festival. Ekspektasi yang tinggi dan pemberitaan yang positif tentang film ini menjamur bagai pandemik. 23 Maret 2012 menjadi tanggal premiere THE RAID diputar di waktu reguler di jaringan bioskop Indonesia. Dengan rating 85% di Tomatometer dan 8.4 di IMDB, siapapun bisa datang ke bioskop dengan adrenalin lebih. Bahkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Maria Elka Pangestu mengatakan, “Saya bangga dengan film ini. Salah satunya karena film ini telah memperkenalkan Pencak Silat ke dunia. Ini mengingatkan saya pada film Bruce Lee ‘Enter the Dragon’ yang memperkenalkan Kung Fu pada dunia Internasional.” (sumber)
Storyline film ini mudah : “A SWAT team becomes trapped in a tenement run by a ruthless mobster and his army of killers and thugs.” Terduga memang kalau adegan pertarungan adalah sajian utamanya. Bertutur mungkin bukan kata yang tepat, menggunakan kata beraksi mungkin lebih mudah dipahami untuk menggambarkan THE RAID. Porsi kekerasan memang memakan tempat paling banyak di film ini dan asset terbesar film ini, diperas habis-habisan dengan memberi pentonton darah dan aksi, lagi, dan lagi. Seyogyanya memang sebuah film tetap harusnya bercerita dan THE RAID ‘mencoba’nya dengan menaruh beberapa ‘selipan adegan’ di mana protagonis kita Rama (Iko Uwais) melakukan ibadah sholat dan latihan pagi, berinteraksi dengan istri dan ayahnya. Hal itu kembali ditegaskan dengan adegan ketika Rama membela seorang penghuni rumah susun yang berniat membawakan obat kepada istrinya yang sedang sakit, maupun pertemuannya dengan kakaknya, Andi (Donny Alamsyah) yang ternyata merupakan tangan kanan sang bos penjahat, Tama (Ray Sahetapy). Pengembangan karakter terlihat berusaha ditampilkan oleh sosok Rama seorang, yang entah kenapa kurang berhasil tujuannya. Semuanya termakan oleh bunyi berisik hantaman tinju dan sayatan pisau. Tidak ada rasa simpati sedikitpun untuknya, di akhir filmpun ia melepas kakaknya tanpa emosi. Hanya beberapa kata ajakan omong kosong dan ia menyerah begitu saja walaupun ia telah mengotori tangannya dengan darah dan melihat hampir semua teman-temannya terbuang nyawanya.
Karakter yang menarik justru muncul dalam diri Mad Dog (Yayan Ruhiyan). Kalaupun karakter Mad Dog berhasil merepresentasikan namanya dengan baik, ia tak ubahnya karakter yang keluar dari bos stage di sebuah video game 8-bit yang merasakan keseruan menghabisi lawannya dengan mata melotot dan tangan kosong daripada, memicu pelatuk pistol. Anggota geng penjahat dan para polisi sama saja, mereka diciptakan seperti zombie. Untuk menyerang dan terbunuh, tidak lebih. Oke, peduli setan dengan pesan moral. Teriakan kotor dan kata-kata kasar merupakan sebagian besar dialog yang ada di film ini, siapa yang berharap ada pesan moral di sini.
Menonton film dengan kuantitas kekerasan dan darah yang intens bukan hal baru bagi penonton Indonesia. Setiap harinya kita disuguhi tayangan menyedihkan tentang semua hal itu, entah tawuran masal atau aksi demonstrasi. Tapi tayangan kriminal yang beredar di TV nasional selalu menyertakan sensor mosaik walaupun kadang tidak konsisten kemunculannya. Tayangan TV di Indonesia umumnya belum menyertakan rating untuk setiap tayangannya. Karenanya keinginan untuk mau tidak mau mengadakan penyensoran di tayangan yang diedarkan untuk semua kalangan ini masih terlihat. Tak terlalu berbeda dengan film bioskop yang beredar Indonesia. Walaupun menyertakan rating untuk film yang beredar, dan tercetak di informasi yang berada di bioskop penayangnya, penonton masih bebas untuk mengakses tayangan dengan rating apapun. Pemberian rating ini memberikan kesempatan kepada para penontonnya untuk memilih dengan sadar tontonan yang ingin mereka saksikan. Sayangnya, Indonesia belum berhasil dijalankan dengan hanya sekedar ‘kesadaran’. Pembicaraan tentang rating untuk film yang beredar di Indonesia bukan merupakan pembicaraan baru pula. Lembaga Sensor Film (LSF) sempat menjadi peran antagonis para pencinta sinema ketika dengan inkonstisten melarang atau memberikan kesempatan kepada sebuah film untuk beredar.
Seakan mundur ke dekade-dekade lalu, penarik utama untuk menonton sebuah film sekarang ini adalah adegan syur atau artis syur. Tak terhitung banyaknya film-film yang mengumbar pornografi dan bersembunyi di balik kedok film hantu atau komedi. Sayangnya film-film bertajuk tidak jelas ini masih saja bisa meraup keuntungan, walaupun tidak mendapat sorotan media sebanyak THE RAID. Dengan pemberitaan besar-besaran yang saya paparkan di atas, THE RAID berhasil mencuri hati para calon penontonnya dan membuat mereka berbondong-bondong datang ke bioskop. Di negara dimana judul headline dianggap paragraf, sulit menerjemahkan sebuah hal tanpa asumsi. Tanpa riset dan pembuktian (atau dalam bahasa masa kininya ‘googling’), mudah adanya mempercayai mayoritas dan beranggapan bahwa pendapat mayoritas adalah pendapat kita. Tidak terkecuali para anak muda di bawah umur yang mungkin ikut termakan pemberitaan sosial media. THE RAID dirating R (for strong brutal bloody violence throughout, and language) di penayangan luar dan dikategorikan D di Indonesia. Rating R (merepresentasikan Restricted) merupakan kategori klasifikasi yang dikeluarkan oleh MPAA (Motion Picture Association of America) dan diartikan sebagai “under 17 requires an accompanying parent or adult guardian”. Sedangkan rating D yang dipakai di Indonesia adalah rating keluaran LSF (Lembaga Sensor Film) yang berarti Dewasa yaitu “hanya cocok disaksikan oleh orang dewasa berumur 17 tahun ke atas”.
Sangat disayangkan bahwa generasi muda ini harus menyaksikan tayangan yang menurut saya bisa berakibat buruk jika tidak disikapi dengan benar. Masih ingat dengan tayangan WWE yang di-banned karena porsi kekerasannya, walaupun ditayangkan di atas jam 10 malam? Di saat tayangan sejenis itu dihardik mengajarkan kekerasan kepada anak-anak di bawah umur, keberadaan THE RAID justru disanjung-sanjung dan dipuja. Tayangan WWE bahkan punya storyline (yang walaupun kadang cheesy layaknya sinetron), plus tidak ada darah di tayangan ini. Saya tahu benar bahwa penduduk Indonesia sudah ‘dipaksa’ menjadi dewasa dengan kondisi memilukan negeri ini, tapi tidak terlalu bijak untuk memberikan tayangan ini secara bebas. Pada akhirnya, saya beranggapan THE RAID mungkin lebih cocok sebagai film festival dibandingkan ditayangkan sebagai film komersial di jaringan bioskop luas. Penonton seyogyanya lebih bisa memilih film-film mana yang harusnya direkomendasikan dan untuk kalangan mana saja film ini patut ditayangkan.
Recommended Consensus: THE RAID: REDEMPTION is a visual dictionary of violence, where you can get every kind of violence action. The early review and publication are too overrated. Though displayed the beauty of Pencak Silat (traditional martial arts from Indonesia), The Raid embraces violence brutally without concerning emotion to the audiences.