Ketika Dialog dan Musik Memang Tidak Ditakdirkan untuk Bersama
Hmm… Di mana gue harus memulai? Sejak trailernya keluar di tahun 2009, gue langsung menobatkan film ini sebagai my-must-see-movie-on-2009. Walaupun pada akhirnya baru bisa menikmatinya di awal tahun 2010, tapi gue bersumpah-sumpah harus nonton. Ekspektasi orang-orang drop ketika banyak yang bilang film ini nggak jelas, ratingnya juga tidak terlalu bagus di pasaran. Rob Marshall adalah daya tarik utama gue menonton film ini (oh, siapa yang tidak tahu Chicago?). Chicago adalah dewa bagi film musikal, dan gue berharap bahwa gue akan mendapatkan tontonan yang kurang lebih sama di film ini. Tapi rupanya, NINE membuktikan bahwa track record sang sutradara dan jajaran cast spektakuler, belum mampu membuat sebuah film menjadi indah.
Buat gue, NINE ‘agak’ mengecewakan. Salahkan gue yang berekspektasi terlalu tinggi, tapi buat gue film ini mungkin memang hanya pantas ditampilkan di panggung Broadway, bukan untuk diputar di layar lebar. Ya, NINE berangkat dari sebuah pentas musikal Broadway yang mengisahkan tentang sang maestro, Guido Contini yang mengalami pasang surut kehidupannya sebagai sutradara film. Guido sempat menjadi anak emas dunia perfilman setelah menyutradarai beberapa film sukses, dan menjadi cemoohan ketika filmnya gagal di pasaran. Kali ini, Guido berniat membuat film kesembilannya yang berjudul ITALIA. Guido yang mengalami banyak tekanan, melihat dunia dengan berimajinasi. Ia memimpikan banyak hal yang tak mampu dimilikinya. Banyak wanita yang lalu lalang di kehidupannya, Ibunya (Sophia Loren), sang istri—Luisa (Marion Cotillard), selingkuhannya Carla (Penelope Cruz), seorang jurnalis Vogue (Kate Hudson), perempuan yang ditemuinya di pantai sewaktu kecil—Saraghina (Fergie), penjahit langganannya Lilli (Judi Dench) dan aktris yang selalu menjadi inspirasinya Claudia (Nicole Kidman). Guido adalah sang pencinta. Ia terus-menerus dihantui banyak kenangannya dengan wanita-wanita ini dan menyebabkannya terus jatuh dalam lubang keputusasaan.
Yang membuat gue agak jenuh menonton film ini adalah gue tidak menemukan keselarasan antara pemasangan lagu dengan jalinan ceritanya. Di NINE gue tidak merasa bahwa ke-musikalitas-an film ini berbanding lurus dengan penggunaan audio-visualnya. Oke mereka menyanyi dan menari, lalu kenapa? Gue merasa bahwa Marshall melupakan kemampuan storytelling yang dimiliki sebuah film. Kadang, gue merasa bahwa si aktor/aktris ‘harus’ menyanyi untuk sebuah hal yang tidak harus dinyanyikan ataupun untuk topik bahasan yang kadang agak tidak nyambung. Berbeda dengan pentas musikal yang memang harus bercerita dengan musik, film ini seperti membedakan ‘dialog’ dengan ‘musik’, sehingga keduanya tidak terasa berjalan beriringan. Gue agak merasa lambat di beberapa bagian, dan merasa tidak nyambung untuk beberapa bagian. Tetapi gue menyadari bahwa karena film ini adaptasi dari pentas musikal, banyak kiasan yang dipakai di sepanjang film dan agak berat untuk dapat menangkap isi sebenarnya dari keseluruhan film ini tanpa konsentrasi dan pemahaman yang tinggi.
Dengan semua hal itu, gue tetap suka endingnya. Ketika Guido akhirnya ‘menemukan’ inspirasinya kembali (yang entah dengan alasan apa, guepun lupa). Gue menyayangkan mengapa dengan ending seagung itu, Marshall tidak menerapkannya di sepanjang film?
Walaupun begitu, salut untuk para pemainnya. Buat gue, highlight di film ini adalah akting Penelope Cruz dan Marion Cotillard yang mencuri hati gue dengan mutlak. Kalau kata Angga, istilah bekennya adalah keduanya memang merupakan regulation hottie-nya dunia aktris. Tapi jujur, gue agak kurang suka dengan lagu-lagu yang dipakai di film ini. Bahkan tidak ada yang gue ingat sampai akhir film. Bukankah harusnya yang kita ingat dari film musikal adalah lagu-lagu musikalnya? Ya, ya, mari kembali mempertanyakannya.