Beberapa tahun yang lalu, saya tidak pernah berpikir untuk menulis review film. Saya memang tergila-gila untuk membuat film, tetapi untuk berkomentar dan menuliskannya, saya merasa tidak pantas. Sampai sekarangpun tetap begitu, walaupun saya sudah punya blog review film sendiri. Saya masih merasa tidak pantas, dan kadang merasa gaya menulis saya masih biasa-biasa saja. Tapi orang bilang yang penting pede, makanya saya masih melanjutkan menulis review yang biasa-biasa saja itu. Makanya saya tidak pernah berani untuk memberikan bintang atau angka untuk sebuah film, karena saya masih belum bisa menetapkan acuan saya.
Saya ingat satu-satunya website yang menjadi kitab suci saya tentang film adalah RumahFilm dengan Eric Sasono dan Hikmat Darmawan sebagai penulis favorit saya. Situs yang memberangkatkan para redakturnya ke Cannes untuk meliput. Saya ingat betul bagaimana dengan naifnya saya memulai menulis review pertama saya—Iron Man—summer movies pertama yang keluar tahun 2008. Sayapun mencoba membandingkannya dengan beberapa review milik kritikus di luar sana, New York Times, RottenTomatoes, Roger Ebert, ah gaya kritik saya mirip-mirip. Mereka memuji akting Robert Downey, saya juga. Mereka menyebut tentang adegan laga yang tidak berlebihan, saya juga. Tetapi mulut saya ternganga membaca resensi di RumahFilm. Judul filmnya sama, ceritanya pasti juga sama, tapi kedalaman berpikir dan ide yang dibawa resensi ini sungguh cerkas. Jauh berbeda jika dibandingkan dengan ulasan saya yang tampak standar. Eric Sasono memang dewa.
Setahun kemudian, saya menikmati Sinema Indonesia. Blog review milik dua reviewer Indonesia selayaknya Roeper & Ebert, dan punya gaya bercerita ala Perez Hilton. Menjatuhkan film yang seharusnya dijatuhkan, film-film Indonesia kelas tiga dengan banyak setan, baju minim, humor tidak lucu dan belahan dada kemana-mana. Film-film yang (menurut saya) tidak selayaknya tampil di layar lebar dengan omset sebesar itu. Mereka menyebut film-film kampungan Indonesia dengan sebutan ‘kancut’, yang kemudian menjadi kata acuan di kitab suci makian film Indonesia. Sama kerennya dengan kata ‘akika’ di kamus gaul Debby Sahertian. Sayangnya website ini tidak melanjutkan makian-makiannya yang fenomenal itu, dan nampaknya saya harus mencari website langganan baru.
Lalu, dalam kurun waktu dua tahun, saya menyaksikan bertambahnya situs/blog review film milik anak muda bangsa. Satu yang mungkin paling populer mungkin GilaSinema dan Labirin Film, blog keduanya bercerita tentang film dengan rapih dan komplit. Nampaknya, ia siap menjadi fashion tren yang siap di-follow—meminjam bahasa gaulnya anak muda sekarang—bagi para pencinta film. Setelah itu, berjamurlah blog-blog review dengan gaya menulisnya masing-masing, ada yang bercerita tentang pengalamannya menonton (VampiBots, sayabilangfilm), ada yang berfokus pada genre yang mereka kagumi saja (Horror Popcorn), ada yang membuat portal situs (Movietei), ada yang berbincang dalam forum (BicaraFilm). Tetapi semuanya mengarah pada hal yang sama, budaya apresiasi terhadap film.
Roger Ebert pernah menulis sebuah artikel tentang Golden Age of Movie Critic, dan mungkin sekaranglah saatnya. Di artikelnya itu ia menulis tentang pekerjaan (mungkin lebih tepat disebut profesi) sebagai kritikus tidak mendatangkan uang, tetapi semua orang melakukannya karena mereka memang murni menikmati menulis kritik.
Kalau Amerika punya EbertFest yang juga mempertemukan para kritikus film paling masyur di bidangnya. Mungkin suatu saat, Indonesia akan punya event yang sama. Setelah para blogger mengadakan event kopi darat terbesar bernama Pesta Blogger, harusnya impian seperti ini tidak akan sulit untuk terwujud.