Pertama kali keluar di tahun 1997, tidak dapat dipungkiri bahwa novel Harry Potter telah mencuri hati kita semua. Bertahun-tahun kemudian di tahun 2007, buku terakhir dari seri ini keluar dan membuat para die hard fans-nya mampu berdiri berjam-jam untuk menunggu keluarnya buku yang telah terjual sebanyak 11 juta kopi di hari perdana penjualannya. Kemudian, babak baru dari seri ini terwujud ketika pada tahun 2001, Warner Bros mengambil alih salah satu franchise terbesar yang mungkin ada di dunia. Chris Columbus (Home Alone, Rent, Percy Jackson and the Lightning Thief) adalah sang sutradara yang beruntung (menyingkirkan Stephen Spielberg dan Terry Gilliam) untuk menciptakan keajaiban dari Harry Potter and The Sorcerer’s Stone menjadi nyata. Film kedua, ketiga, dan keempatnya, Harry Potter and the Chamber of Secret dan Harry Potter and The Prisoner’s of Azkaban, dan berturut-turut keluar di tahun 2004-2005. Sutradara Alfonso Cuarón dan Mike Newell didaulat menggantikan Columbus di film ketiga dan keempat. Di tahun 2007, film kelimanya yang berjudul Harry Potter and The Order of the Phoenix akhirnya sampai pada tangan David Yates. Yates dengan magisnya berhasil menciptakan kekelaman pada film ini dan hal tersebut disusul dengan film keenamnya, Harry Potter and the Half-Blood Prince. Suasana drama dan atmosfer gelap mengukuhkan Yates untuk kembali menyutradrai instalasi terakhir dari seri ini.
Harry Potter and the Deathly Hallows dibagi menjadi dua bagian, yang membuat saya yakin bahwa kehadiran film ini tidak terkesan mengejar uang, tetapi mengejar keutuhan cerita. Bagian keduanya akan keluar pada Mei 2011 dan saya jamin akan membuat para die hard fansnya kembali berdebar-debar menunggu kehadirannya.
Saya tidak akan membahas soal cerita kepada Anda. Sudah cukup banyak review yang beredar di luaran soal ceritanya, jadi pasti Anda tidak kesulitan mendapatkannya. Pada bagian pertamanya ini, saya kembali ingin menyalami Yates dan berterima kasih atas segala hal yang dilakukannya dengan film ini. Jika Anda pembaca bukunya, bagian awal ceritanya memang hanya berputar tentang pencarian Horcrux dan (mungkin) pencarian jati diri untuk ketiga tokoh utama kita ini. Di hutan-hutan terdalam, mereka berjalan entah kemana. Sepintas memang terdengar membosankan, karena hidup mereka hanya berpusat pada pembicaraan tentang Horcrux, penemuan baru Hermione atas Horcrux, malam datang, ketiganya memasang mantra dan tenda, begitu berulang-ulang. Tetapi Yates berhasil membuatnya tidak membosankan dan entah kenapa, saya suka bagian ketika Harry mengajak Hermione berdansa diiringi musik dari radio. Somehow, adegan itu membuat saya merasa karakter mereka menjadi manusiawi. Ya mereka penyihir dan mereka akan menghadapi sang Dark Lord dengan peliharaan ular besar, lalu kenapa? Mereka pada dasarnya hanya anak-anak muda yang juga berkutat dengan masalah percintaannya masing-masing. Adegan tersebut dengan baiknya menerjemahkan pernyataan tersebut dengan baik. Dan dengan semudah itulah saya jatuh cinta dengan Harry Potter and the Deathly Hallows part 1.
Adegan-adegannya seru dan menegangkan, kelam dan mencekam. Pemotongan ending bagian pertamanya juga tidak mengecewakan. Terasa pas dan memuaskan. Bagi para penggemar barunya (yang tidak menonton film-film sebelumnya maupun membaca bukunnya), film ini saya kira mampu menjaring target penonton tersebut. Karena ketegangan yang dihasilkan setelah menonton film ini membuat saya sendiri ingin menyaksikan kembali keenam instalasi sebelumnya. Walaupun saya berani bilang, instalasi ketujuh ini mampu membuat film-film pendahulunya menjadi biasa saja.
Tetapi ada satu adegan yang menurut saya merusak jalinan ceritanya, yaitu adegan Ron menghancurkan locket milik Salazar Slytherin. Adegan bayangan Hermione dan Harry yang berciuman memang terjadi di bukunya, tetapi entah mengapa ketika adegannya ditampilkan tanpa busana membuat saya agak sedikit kesal. Saya tahu sejak menginjak film kelima (atau bahkan keempat), suasana yang ditampilkan menggelap serta target penontonnya telah berganti menjadi remaja. Tetapi entah kenapa hanya hal itu saja yang menganggu saya di sepanjang film.
Pada akhirnya, jika porsi action dan drama yang tidak berimbang ada di instalasi keenamnya telah diperbaiki di filmnya yang ketujuh. Kedua porsi tersebut ditata rapi dan tidak berlebihan, memberikan sebuah awal dari penutup yang baik untuk novel terlaris sepanjang sejarah ini.
saya sebenarnya enggak suka dengan David Yates. film-film Harry Potter yang dihasilkan (sejak kelima) itu benar-benar berbeda. saya lebih suka film-film pendahulunya (yang ketiga dan keempat), benar-benar Harry Potter kalau menurut saya pribadi :D
Salam kenal ya, masmovie :) Nama blognya unik banget, masmasmovie.
Kalau yang kelima dan selanjutnya memang atmosfernya juga udah beda, mas. Saya sih sebenernya suka semuanya, tapi memang kalau film film pertamanya (1-4) terasa lebih magical dibanding yang sekarang-sekarang ini (5-7). Atmosfer yang sekarang memang lebih kental drama dan terasa banget gelapnya. Mungkin pemilihan Yates sendiri sebagai sutradara juga menyesuaikan dengan alur cerita Harry Potter sendiri yang di buku-buku akhir memang sudah cenderung gelap (dari segi ceritanya).
Apa persamaan antara film Dragon Ball, Harry Potter dan Narnia 3 (The Voyage Of The Dawn Treader) ???
Ketiganya sama – sama nyari tujuh benda, yang pertama nyari bola buat ngidupin yang sudah meninggal, yang kedua mencari tujuh Horcrux buat ngancurin Valdemort, dan yang terakhir nyari tujuh pedang para ksatria Narnia. Mungkin jika penulis novelnya ingin bikin lanjutan yang ke-delapan, bisa jadi misinya adalah nyari tujuh bola naga buat ngidupin Dumbledore :)
Well, itu hanya sekedar obrolan gak jelas dan untuk filmnya, saya memang kurang begitu nge-fans sama film ini, tapi good review btw