Dua orang pemuda Amerika, Paxton (Jay Hernandez) dan Josh (Derek Richardson) bertemu dengan seorang Islandia, Oli (Eyþór Guðjónsson), dalam liburan mereka di Eropa. Keduanya pun mengalami liburan yang memang sulit dilupakan. Mengejar hisapan ganja dan seks gratis, merekapun mendapatakannya dengan mudah. Cerita bergulir ketika, seorang informan bernama Alexei (Lubomir Bukovy), menyarankan mereka untuk pergi ke Bratislava di pinggiran Slovakia. Surga bagi para pecinta seks dan judi, yang dikatakan merupakan gudang para wanita terbaik. Pertemuan mereka dengan para gadis di sebuah hostel yang bernama Russian Natalya (Barbara Nedeljakova) dan Czech Svetlana (Jana Kaderabkova) kemudian menuntun mereka ke sebuah rangkaian kejadian yang menyayat-nyayat nyali. Ketika Oli bersama seorang gadis Jepang bernama Yuki yang ditemuinya tidak kembali ke kamar Hostel mereka, Paxton dan Josh mulai menyadari ada yang tidak beres di kota itu. Tanpa sadar, merekapun menjadi salah satu korban sebuah perkumpulan “tidak beres” yang bertempat di kota tersebut.
Ditulis dan disutradarai sendiri oleh Eli Roth, Hostel mendudukkan dirinya sebagai salah satu film thriller super ngeri menurut saya. Kalau Anda tidak kenal siapa Eli Roth, dia adalah sang pemeran Donny Donowitz atau The Bear Jew yang bermain dalam Inglourious Basterds arahan Quentin Tarantino. Dalam Hostel, Tarantino jugalah yang menjadi produser film ini. Hostel merupakan film yang dibuat dengan budget rendah tetapi menuai kesuksesan dengan pendapatan kotor yang berlipat ganda. Ditaksir dengan pengeluaran sekitar $ 4 juta, Hostel berhasil meraih pendapatan kotor sekitar $ 80 juta dan $ 180 dari penjualan DVD. Jean Francois Raugier dari French Cinematheque bahkan menobatkan Hostel sebagai Best Film of the Decade dalam Film Comment Magazine edisi Januari 2010. Hostel part II yang juga disutradarai oleh Roth keluar di tahun 2007, tetapi filmnya muncul duluan di internet sebelum filmnya dirilis, sehingga kesuksesan Hostel tidak dicapai oleh sekuelnya ini.
Untuk para pembenci film yang sarat dengan nudity, kekerasan, dan darah, saya sarankan jangan repot-repot memaksa menyaksikan film ini. Karena ketiga hal itulah yang menjadi menu utama dalam Hostel.
Dalam film berdurasi sekitar 90 menit ini, penonton dibawa perlahan menuju inti film yang sesungguhnya. Saya bisa katakan, 1/3 bagian pertama penuh dengan adegan-adegan nudity dan seks, 1/3 bagian selanjutnya mengantar kita ke turning point film ini untuk menyaksikan klimaks apa yang sebenarnya ingin dipaparkan oleh film ini. 30 menit selanjutnya adalah siksaan (secara harfiah dan simbolis). 30 menit akhir bagian film ini dijamin membuat Anda berteriak, menutup mata, merasakan kengerian dan horor yang mutlak. Darah dan organ tubuh menjadi hidangan segar yang tidak pernah berhenti disajikan selama waktu 30 menit tersebut.
Sound effect dalam film thriller merupakan salah satu elemen penting yang mutlak ada. Dalam Hostel, pembubuhan sound effect-nya luar biasa dan mampu membuat jantung saya berdegup kencang dengan keberadaannya di sepanjang film. Apalagi adegan-adegan akhir saat Paxton berada di gedung tua di 30 menit terakhir.
Segi ke-thriller-an film ini maksimal, mungkin setingkat di bawah Cannibal Holocaust (1980). Sebenarnya, saya tidak menggemari genre film ini, tetapi setelah menyaksikan penurunan kualitas film thriller franchise SAW (yang baru saja mengeluarkan SAW 3D), tidak afdol rasanya untuk melewatkan Hostel. Selain jenis penonton yang telah saya peringkatkan dengan garis bawah di atas, saya merekomendasikan Anda untuk menonton film ini. Apalagi untuk ditonton bersama teman-teman, karena dijamin seru dan memancing teriakan. Satu hal yang membuat Hostel mengukuhkan dirinya menjadi salah satu film thriller terbaik adalah karena selain menjual adegan-adegan sadisnya, Hostel menjual segi kelogisan di dalam ceritanya. Hal yang kadang dilupakan oleh para pembuat film thriller macam ini.