We’re growing old by little some fairy tales coming along our bedside. As for me, the bed side is my television set, completed with my old fairytales Disney movies coming along my way. Walt Disney adalah mesin pembuat mimpi, oh kita semua pasti hafal setiap scene yang ada di Aladdin atau Beauty and the Beast. Kali ini, bertahun-tahun setelah saya menonton semua cerita indah itu, saya menonton The Princess and the Frog. And yet, it is still have the magical and the charming way of Disney fairytales.
Walt Disney masih mesin pembuat mimpi. Dibuat dalam animasi 2D dengan warna-warna cantik yang menyenangkan, saya masih menangis di akhir film. The Princess and the Frog tidak bersetting di negeri far far away, ceritanya justru terjadi di ibukota kelahiran Jazz, New Orleans! Sehingga filmnya punya nuansa jazz yang indah. Untuk bagian ini, mari membahasnya belakangan (oh, it’s just as magical as the story). Ceritanya tentang Tiana, a princess in the making. Seorang pemimpi, dengan cita-cita setinggi bintang ia berniat mewujudkan mimpi ayahnya untuk membangun restorannya sendiri. Hidupnya kemudian berubah ketika seorang pangeran bernama Naveen datang ke kota dan secara tidak sengaja terjebak oleh tipu muslihat seorang ahli nujum (??), yang dikenal dengan nama Shadow Man, ia menggunakan somewhat ilmu hitam dan mengubah Naveen menjadi kodok. Naveen yang bertemu dengan Tiana di masquerade yang diadakan Charlotte—sahabat Tiana yang kaya raya—kemudian mencium Tiana yang disangkanya Princess untuk mengubahnya kembali menjadi pangeran. Tetapi, justru Tiana yang berubah menjadi kodok, dan keduanya kemudian mengalami banyak petualangan untuk menemukan banyak hal yang tidak pernah mereka kira tidak akan mereka temukan sebelumnya.
Plotnya menarik, karena ketika Tiana berubah menjadi kodok, siapa yang dapat menebak cerita lanjutannya? Ya, kita akan tahu bahwa cerita akan berakhir bahagia tapi siapa yang menyangka kita akan bertemu dengan seorang alligator yang suka nge-jam dan pada akhirnya menemukan Evangeline bagi diri kita semua.
Fairy tales selalu punya satu hal yang membuat kita selalu jatuh cinta, mimpi. Semua hal dalam film ini adalah mimpi. Mimpi yang kadang kita sendiri tidak mengerti apakah itu akan benar-benar terjadi atau tidak. Tapi di film ini, Tiana menjawab lewat lagunya “Down in New Orleans”. Dreams do coms true on New Orleans! Saya suka sekali dengan Tiana, oh you don’t mess around with girl with a dreams set on her forehead. Tiana adalah seorang putri, dan ia berhak mendapat titel itu. Tidak seperti Princess Disney lainnya, Tiana tidak bermimpi untuk menikah atau hidup bahagia selamanya. Ia seorang pekerja keras yang percaya bahwa mimpi adalah kumpulan dari usaha dan kerja keras. Karakter ini keren sekali, saya ingin menjadi seperti Tiana. Oh, saya menangis mendengar Tiana menyanyikan lagu Almost There :P
Untuk bagian scoring dan soundtrack (oh, saya menunggu-nunggu ke bagian ini), a full round of standing applause! It’s both delightful and charming. Tidak aneh, karena scoring-nya dipegang oleh pemegang Oscar, the maestro—Rendy Newman! Rendy Newman adalah komposer favorit saya, karena ia juga bertanggung jawab atas musik-musik indah yang ada di Toy Story dan film-film terdahulu PIXAR, sebelum sekarang beralih kepada Michael Giachinno. Soul jazz-nya terasa di setiap soundtrack yang terdengar, saya suka lagu “Almost There”, “Dig a Little Deeper”, dan semua tiupan horn yang dimainkan Louis. Lagu ending “Never Knew I Needed” yang dinyanyikan Ne-Yo di credit film juga memberikan nuansa modern yang membuat kita dikembalikan ke dunia nyata dan baru saja diceritakan dongeng panjang tentang seorang putri dan pangeran kodoknya.
Recommended Consensus: It is a nostalgic moment to see a Disney Classic put on a modern kind of way about a princess finding her dreams and happiness. Swing you around the storyline that it is kind of delightful and jazzy. Oh noted on this one, do believe that dreams could happen on real life too.