Tulisan ini dibuat pada tahun 2008 dan sekaligus menjadi awal pertama kali saya menulis review film.
Adaptasi merupakan proses penyesuaian di mana suatu benda diolah agar cocok dengan keadaan yang lain. Proses ini ternyata berlaku juga untuk dunia perfilman. Konsep audio-visual yang ditawarkan oleh film telah mengisi kekosongan yang ada pada berbagai literatur. Bahkan media 2-D yang ditawarkan oleh komikpun dirasa kurang untuk mewujudkan suatu cerita. Berbagai titel komik telah diangkat ke layar lebar. Sebut saja Batman, Superman, Hulk, X-Men, Fantastic Four, dan lain-lain. Pada awal pembuatannya, komik dibuat dengan target pembaca anak-anak dan remaja Pada umumnya, target inilah yang juga ingin dicapai oleh adaptasi filmnya. Tren bergeser ketika Tim Burton men-direct Batman (1989) dan Batman Returns (1992). Atmosfer gelap khas Burton telah menyulap film ini menjadi pergulatan batin Bruce Wayne sebagai manusia daripada sekedar aksi penyelamatan kota Gotham dengan mobil super mahal.
Tapi rupanya, Burton tidak berhasil mengikat target penonton yang semula diharapkan karena problematika Batman yang dianggap terlalu dewasa. Hal ini berhasil diperbaiki oleh Sam Raimi dalam Spiderman (2002), yang menghadirkan karakter pemuda biasa yang dianugerahi kemampuan super untuk mengeluarkan jaring laba-laba. Bumbu drama dan romance yang diusung telah menarik bukan saja remaja dan anak-anak, tetapi juga para penonton dewasa.
Pola ini jugalah yang diusung oleh sutradara Jon Favreau dalam mengadaptasi Iron Man. Ia tidak saja membuat berbagai target usia tertarik dengan film ini, tetapi ia juga berhasil memuaskan para penggemar komiknya. Favreau menghadirkan apa yang paling ingin dilihat para penggemar Iron Man di layar lebar.
Iron Man bercerita tentang seorang pencipta senjata jenius dan pemilik Stark Industries, Tony Stark (Robert Downey Jr.). Hidupnya yang bergelimang harta dan dipenuhi oleh deretan wanita berubah ketika ia berkunjung ke Afghanistan untuk memperlihatkan kemampuan rudal terbaru ciptaannya. Ia diculik oleh sekelompok teroris dan diperintahkan untuk menciptakan sebuah rudal. Tetapi, ia malah menciptakan sebuah baju besi yang dilengkapi senjata untuk dapat melarikan diri dari kelompok teroris tersebut. Baju besi inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Iron Man. Di tempat itu jugalah, Tony bertemu dengan seorang seorang ilmuwan bernama Yensin. Kematian Yensin untuk membantu Tony melarikan diri inilah yang kemudian membuat perubahan besar dalam dirinya.
Downey menghadirkan sensasi yang berbeda dalam tokoh Tony Stark, aktingnya sangat meyakinkan. Ia tidak perlu mengeluarkan effort terlalu besar untuk membuat kita percaya bahwa dia adalah seorang superhero. Akting yang menawan juga disajikan oleh Gwyneth Paltrow sebagai Pepper Potts, asisten pribadi Stark yang sangat setia dan Jeff Bridges sebagai Obadiah Stane, pemeran antagonis di film ini.
Walau tidak ada perubahan dalam pola penggambarannya, plot cerita Iron Man sangat menarik, dan bumbu humor yang dihadirkan mendapat porsi yang pas. Banyak kejutan yang ada di film ini yang mampu membuat kita dapat menikmati film ini. Tidak usah mempertanyakan special effect-nya. Semua orang sudah tahu apa yang dapat terjadi setelah Transformer (2007) mendapat Best Achievement in Visual Effect pada Oscar 2008. Hollywood tampak siap membuat special effect dan animasi serumit apapun. Tapi rupanya, Favreau berhasil menahan dirinya untuk tidak menggunakan special effect secara berlebihan, sehingga film ini tetap enak dilihat. Tetapi Iron Man tidak luput dari celah-celah kecil. Seperti adegan ketika para teroris memerintahkan Tony membuat rudal dalam waktu seminggu, tetapi di adegan lain dikatakan bahwa Tony telah menghilang selama 3 bulan.
Selayaknya film adaptasi, ada hal-hal yang dihilangkan dan ditambahkan untuk mencapai kesesuaian. Mungkin hal inilah yang patut dipuji pada Iron Man, karena penambahan dan pengurangan yang ada tidak menganggu jalannya film ini. Penggemar komik Iron Man akan mengerti ketika Captain Rhodes (Terrence Howard) berkata “Next time, baby.” ketika melihat baju yang tergantung di ruang bawah tanah Tony. Mungkin itulah janji kehadiran War Machine di sekuel Iron Man. Dan siapa yang kemudian mengira bahwa kehadiran agen membosankan yang muncul di sepanjang film telah menuntun kita kepada organisasi bernama SHIELD. Hal ini membuat penonton yang membaca komik Iron Man sebelumnya maupun yang tidak membacanya tetap dapat menikmati film ini. Plot cerita kemunculan Iron Man juga tidak melenceng dari komik aslinya, perbedaannya mungkin hanya pada pemilihan tempat di Afghanistan (yang semula bersetting perang Vietnam). Riset Favreau kepada para penggemar komiknya ternyata membuahkan hasil yang menggembirakan, menonton film ini merupakan pengalaman yang menyenangkan. Iron Man merupakan film pembuka yang sangat pas untuk mengawali rentetan Summer Movies di tahun ini.
Leave a comment